Sabtu, 19 Oktober 2013

BUDAYA ANTRI INDONESIA
           
Orang Indonesia tidak terbiasa dengan budaya antri. Entah mengapa, masyarakat yang kerap disebut sebagai bangsa yang santun ini seolah tidak mengerti apa yang dirasakan orang lain. Tidak ada empati. Orang Indonesia hanya akan antri, kalau sudah dipaksa dalam sistem. Contohnya, antrian di Bank dengan sistem karcis. Hal-hal sederhana seperti berjalan di sebelah kiri, terutama jika berjalan dalam rombongan. Seringkali kita terhenti di gang atau trotoar ketika berpapasan dengan satu grup remaja atau orang dewasa. Mereka tidak merasa bersalah telah menghabiskan jatah orang lain. 
           
Antri adalah kebudayaan. Kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui perilaku sehari-hari generasi yang lebih tua. Jadi generasi berikutnya (anak-anak) hanya meniru. Dalam kebudayaan asli kita hampir tidak ada antri. Yang didahulukan itu adalah yang lebih tua, yang lebih terhormat atau yang lebih kuat. Bukan yang datang duluan. Yang lebih muda, tidak punya pangkat, lebih lemah dan lebih miskin, harus mengalah. Ini ciri kebudayaan feodal, di mana ada juragan (pamong, bangsawan, hartawan, bos dan tentara) di satu pihak dan ada wong cilik (kawula, buruh, abdi, kuli, hamba dan budak) di pihak yang lain. Nih bayangin, kalo Anda lagi ngantri karcis di bioskop. Tau-tau datang SBY dan isterinya mau beli karcis di tempat yang sama. Saya pastikan, semua orang akan ngasih tempat sama mereka. Dan SBY pasti mau aja nyerobot giliran orang lain. Bagaimana dengan Anda? Mengalahkah Anda? Mereka semua itu berjiwa feodal. Kalau kuat nginjek, kalau lemah ngejilat.
         
Antri itu adalah tindakan yang mulia. Dengan mengantri berarti kita menghargai manusia lain setara dengan diri kita sendiri. Antri adalah persoalan menghargai keadilan. Dengan menyerobot berarti kita menganggap kepentingan orang lain lebih rendah daripada kepentingan kita. Sifat ini adalah pangkal dari ketidakadilan yang lebih luas termasukn berbagai bentuk korupsi.
  Hal ini mungkin sudah jadi ciri bangsa ini yang tidak mau tertib & teratur dan juga tidak tahu malu.
Budaya Antri sudah tidak dikenal lagi di Indonesia , hanya orang - orang yang tahu etika dan beradab yang masih memakanya.
kenyataan yang jelek bahwa orang Indonesia masih sering mau menang sendiri dan tidak peduli dengan orang lain apalagi di kota-kota besar yang sangat padat dan sudah semakin individualis.
 
Apakah sebab orang kita dikenal tidak dapat berdisiplin untuk antri? Pertama tentu karena kesadaran bermasyarakatnya kurang. Kedua, karena rasa ego yang berlebihan dan ingin cepat dan enak sendiri. Ketiga, karena bangsa Indonesia terkenal luwes”. Padahal syarat mutlak antrian dapat tertib adalah rasa lugas itu. Yang dulu dilayani duluan, yang kemudian menyusul. Istilah kerennya “First In First Out” (FIFO). Biar atasan harus dilayani belakangan bila sang bawahan datang lebih awal. Antrian yang lancar memang tak kenal tua-muda, pria-wanita atau kaya-miskin. Anti diskriminasi. Yang terakhir, lebih aman kalau kita salahkan penjajah Belanda yang tidak mendidik untuk membiasakan bangsa Indonesia berantri.


          Jalan keluar satu-satunya adalah pendidikan bangsa. Masyarakat harus dipameri bahwa dengan tertib berantri, segala urusan akan lebih cepat beres. Kebiasaan untuk berdisiplin antri harus dicanangkan dan sarana untuk antri harus disediakan di setiap tempat umum. Lengkap dengan segala sangsinya. Di sekolah-sekolah – sejak Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi – perlu ditanamkan bahwa antri adalah suatu kebiasaan yang harus keluar secara spontan. Cara berebut dan main sodok dianggap tabu. Dan yang penting rasa paling-kuasa, paling-penting, paling-kuat atau paling-layak diprioritaskan mesti sedikit demi sedikit dikikis habis. Kalau perlu dengan menempel stiker-stiker “I Love Antri” seperti model anak gaul mengagungkan grup band favoritnya. Antri bukan untuk mempersulit atau memperlama pelayanan tetapi justru memperlancar.
Solusinya? Banyak cara, tapi yg paling efektif menurut saya harus dibuatkan jalur untuk orang antri sehingga dia tahu bahwa dia seharusnya antri dikala sudah semakin banyak orang menunggu.
Solusinya: Selama 10 tahun ke depan, setiap hari di setiap kelas, di semua jenis sekolah dan universitas, juga di semua gereja dan mesjid pada setiap kesempatan khotbah, harus diajarkan apa itu ngantri. Para kepala kantor pemerintah dan swasta, jenderal, menteri dan kepala daerah/desa harus mengingatkan ini pada setiap kesempatan upacara.




Budaya mengantri

Bagaimana pandangan pembaca sekalian melihat budaya di indonesia terutama budaya mengantri ? saya rasa budaya mengantri masih belum tertanam di dalam kehidupan sehari-hari bagi sebagian orang seharusnya budaya sudah tertanam sejak dini sehingga mereka terbiasa dengan budaya mengantri dimanapun mereka berada.
Contoh kasus yang sangat memprihatikan yakni di saat pembagian sembako  banyak orang-orang yang terluka bahkan smpai memakan korban jiwa  karena pembagian yang tidak tertib , saling sodok , tidak menghargai orang yang lebih tua,seringkali  bantuan yang di berikan jumlahnya tidak sesuai dengan resiko yang di dapat.

Meskipun sudah di batasi dengan pagar pembatas banyak warga yang memaksa menerobos dan saling sodok untuk mendapatkan bantuan tersebut secara cepat. Lantas bagaimaca cara kita mengatasi hal tersebut ? salah satu hal yang dapat d lakukan adalah menanamkan pda diri sendiri bahwa kepentingan bersama jauh lebih penting di bandingan kepentingan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar